Cerita
ini di mulai 800 tahun yang lalu, pada saat itu ada dua klan yang terkuat yaitu
Genji dan Heike. Keduanya selalu bermusuhan dan saling bertarung, namun pada
akhirnya keluarga Heike-lah yang kalah, dan mereka melarikan diri sampai ke
daerah Dan No Ura (Prefektur Yamaguchi).
Anggota klan Heike yang kalah dalam peperangan ini, baik laki-laki, wanita,
anak-anak, semuanya melompat ke laut di daerah Dan No Ura ini.
Setelah
peperangan ini, menurut penduduk setempat banyak rumor yang mengatakan bahwa di
laut Dan No Ura sering terlihat
penampakan hantu dan onibi (bola
arwah) yang suka mengganggu penduduk. Oleh karena itu, dibangunlah sebuah kuil
yang bernama kuil Amida dan makam
untuk klan Heike yang meinggal dalam perang agar hantu klan Heike tidak
mengganggu lagi.
Setelah
beberapa ratus tahun berlalu, hiduplah seorang laki-laki buta bernama Hoichi di
Dan No Ura. Hoichi adalah seorang
pemain biwa (alat musik petik jepang)
dan senang memainkannya di depan orang-orang. Dia juga pandai menceritakan
kisah pilu dari peperangan Dan No Ura,
dan semua orang yang mendengarnya bisa menangis. Akhirnya seorang biksu kepala
di kuil Amida mengajak Hoichi untuk
tinggal bersamanya di kuil dengan syarat Hoichi tiap malam harus memainkan biwa untuknya.
Suatu
malam di musim panas, Hoichi duduk di teras kuil sambil memainkan biwa-nya. Tiba-tiba seseorang datang
menghampiri Hoichi. Sosok itu seperti seorang samurai dan memanggil Hoichi dengan suara yang keras.
“hoichi!”
“iya!
Siapa kamu?” jawab Hoichi
“saya
adalah seseorang yang tinggal di dekat kuil ini, Tuan saya ingin mendengar
permainan biwa-mu. Bawa biwa-mu dan ikut denganku!”
Hoichi
lalu mengikuti sosok samurai itu,
setelah sebentar berjalan, mereka berhenti di depan sebuah pintu gerbang yang
besar. Hoichi merasa ada yang aneh karena tidak ada gerbang lain yang terasa
lebih besar dari gerbang kuil Amida.
Setelah itu mereka berdua memasuki gerbang itu dan melewati semacam taman yang
luas, masuk ke sebuah bangunan yang luas yang didalamnya ada banyak orang. Terdengar suara seorang wanita menghampiri
Hoichi.
“Tuan
Besar menyuruhmu memainkan biwa-mu
dan nyanyikanlah kisah pertarungan klan Heike”
Hoichi
mulai menyanyikan kisah pilu itu. Suara perahu yang melaju dengan kencang,
suara anak panah yang melesat ke langit, suara kuda yang berlari, suara pedang
yang beradu, semua dinyanyikan Hoichi dengan indah. Ketika Hoichi selesai
menyanyikannya, semua orang menangis dan memujinya. Lalu wanita yang tadi
berkata pada hoichi agar setiap hari pada jam yang sama datang ke tempat ini
dan memainkan biwa-nya. Saat fajar
tiba, Hoichi kembali ke kuil di antar oleh sosok samurai yang membawanya pergi.
Malam
hari berikutnya, sosok samurai itu
membawa Hoichi pergi untuk bermain biwa
lagi. Hari demi hari berlalu, Hoichi semakin lama semakin menjadi tidak sehat
dan wajahnya berubah menjadi pucat. Biksu Bepala yang tidak tahu apa -apa
melihat kondisi Hoichi yang aneh itu. Akhirnya pada suatu malam Biksu Kepala
menyadari bahwa Hoichi tidak ada di kuil, dan keesokan paginya ketika Hoichi
kembali ke kuil Biksu Kepala memanggil Hoichi.
“Hoichi,
dari mana saja kamu? Sangat berbahaya keluar larut malam tanpa ada yang
menjagamu”
Hoichi
diam saja dan tidak berkata alasan dia pergi di malam hari.
“aneh
sekali, ada hal yang dia sembunyikan”
Biksu
Kepala menjadi sangat khawatir pada Hoichi dan malamnya Biksu Kepala menyuruh
para biksu di kuil untuk mengikuti Hoichi jika dia pergi keluar malam ini. Benar
saja, malamnya Hoichi keluar dari kuil dan para biksu mengikuti Hoichi. Namun
di tengah jalan mereka kehilangan jejak Hoichi.
Para
Biksu mencari kesegala tempat, saat fajar tiba, terdengar suara petikan biwa dari arah makam di dekat kuil.
Ternyata Hoichi sedang memainkan biwa-nya
sambil menyanyikan kisah klan Heike. Di sekeliling Hoichi ada banyak onibi.
“Hoichi!
Hoichi!”
Para
Biksu memanggil Hoichi, namun Hoichi tidak memperdulikan mereka dan meneruskan
nyanyiannya. Akhirnya mereka menarik paksa Hoichi kembali ke kuil. Biksu Kepala
sangat terkejut melihat apa yang terjadi, dan Hoichi menceritakan semua yang
terjadi.
“itu
berbahaya sekali, kamu bernyanyi di depan para hantu dari klan Heike. Jika kamu
terus menuruti mereka, kamu bisa mati” kata Biksu Kepala.
“sayangnya,
malam ini aku harus pergi. Tapi sebelum aku pergi aku akan menuliskan sutra ditubuhmu” lanjut Biksu Kepala.
Sutra adalah kalimat yang berisi doa
dan mantra dalam ajaran Buddha. Sebelum malam tiba, Biksu Kepala menuliskan sutra di dada, punggung, wajah, leher,
tangan, dan kaki Hoichi dengan tinta yang sudah dimantrai. Dengan begini,
hantu-hantu itu tidak bisa melihat Hoichi.
“malam
ini, duduklah di teras kuil. Tunggu sampai ada orang yang datang memanggilmu.
Tapi, apapun yang terjadi, jangan menjawabnya, dan jangan bergerak
sedikitpun! Kamu akan baik-baik saja”
Ketika
malam tiba, Hoichi melakukan apa yang disuruh oleh Biksu Kepala. Hoichi duduk
di teras kuil dan menaruh biwa-nya
disebelahnya. Setelah berjam-jam lamanya, dari kejauhan terdengar suara sosok
yang biasa membawa Hoichi. Sosok itu akhirnya berhenti di depan Hoichi.
“Hoichi,
di mana kamu!”
Hoichi
tidak menjawab dan tetap duduk membatu di teras kuil. Sosok itu tidak bisa
melihat Hoichi dan mulai naik ke teras kuil dan perlahan-lahan mulai mendekati
Hoichi.
“aneh
sekali, ada biwa di sini tapi Hoichi
tidak ada....wah, ada dua telinga melayang di sini!”
“baiklah,
akan kubawa telinga ini saja pada Tuan Besar”
Sosok
hantu samurai itu melihat sepasang
telinga Hoichi, lalu dia menangkap telinga itu dan menariknya.
“tenaganya
kuat sekali, telingaku rasanya mau lepas...aduh! aaahhh!!!”
Hoichi
tetap diam tidak bersuara, terasa ada sesuatu yang hangat mengalir dari kedua
sisi kepalanya.
.........
Saat
fajar tiba, Biksu Kepala pulang dan mencari-cari di mana Hoichi. Biksu Kepala
mencari di seluruh kuil dan akhirnya menuju ke teras kuil. Namun teras kuil
terasa basah.
“apa-apaan
ini!”
Setelah
dilihat baik-baik, ternyata itu adalah darah, dan Hoichi masih duduk bersimbah
darah di teras kuil. Biksu Kepala sangat terkejut dan bertanya pada Hoichi.
“apa yang
terjadi, apa kamu baik-baik saja?”
Ketika
Hoichi mendengar suara Biksu Kepala, ia mulai tenang dan menangis. Hoichi
menceritakan semua kejadian mengerikan yang dia alami tadi malam.
“maafkan
aku, ini semua salahku. Kupikir aku sudah menuliskan sutra di seluruh tubuhmu, tapi aku lupa tidak menuliskannya
ditelingamu. Sekarang semua akan baik-baik saja karena hantu itu tidak akan
datang lagi”
Setelah
kejadian ini, hantu itu tidak pernah lagi datang mendatangi Hoichi. Dan Hoichi
menjadi terkenal karena permainan biwa-nya.
Hoichi yang telinganya diambil paksa oleh hantu, karena itu di panggil “Hoichi
si tanpa telinga”.
sumber:
“Kaidan” (jyuuyon no fushigina hanashi wo atsumeta hon) oleh Koizumi Yakumo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar