Shoshika (少子化) adalah suatu keadaan menurunnya jumlah kelahiran anak di Jepang. Shoshika dibentuk dari kanji [ 少 ] = sedikit, [ 子 ] = anak, dan [ 化 ] = perubahan. Jadi, shoshika dapat diartikan sebagai kondisi pada saat jumlah kelahiran mengalami perubahan menuju jumlah yang lebih sedikit. Hal ini berdampak pada ketersediaan jumlah usia produktif yang merupakan sumber daya manusia suatu bangsa.
Pasca Perang
Dunia kedua, jumlah kelahiran di Jepang telah banyak mengalami perubahan. Dalam
sejarah kelahiran Jepang yang tercatat sejak tahun 1947 sampai dengan tahun
2005, Jepang dua kali mengalami puncak kelahiran yaitu pada tahun 1947-1949 dan
1971-1974, dan sejak tahun tersebut jumlah kelahiran tidak pernah menunjukkan
kondisi peningkatan.
Di kawasan Asia
Timur, Jepang adalah negara pertama yang mengalami hal ini. Fenomena ini tidak
hanya terjadi di kawasan Jepang, akan tetapi juga terjadi di Korea.
Sebagai hasilnya, struktur demografi
Jepang cepat berubah menjadi masyarakat menua. Pada tahun 2005, untuk pertama
kalinya populasi Jepang mengalami penurunan (Ogawa, 2007:2).
Sejak tahun
1975, jumlah kelahiran terus mengalami
penurunan, beberapa faktor dianggap sebagai alasan dibalik terus menurunnya
jumlah kelahiran di Jepang. Dalam penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
pernikahan sering disebut sebagai faktor utama yang menentukan jumlah
kelahiran, diantaranya adalah meningkatnya fenomena bankonka
dan jumlah populasi dari orang yang tidak menikah (Ueno,1998; Retherford et
al,1996 ; Ogawa,2003).
Pendapat lain dikemukakan oleh Yamada (2008), yang
mengatakan dua penyebab utama dari fenomena
shoshika adalah ketidakstabilan pendapatan seseorang
dan meningkatnya jumlah parasite single.
Kedua hal tersebut saling berpengaruh satu dengan yang lain, jika seseorang
mengalami ketidakstabilan dalam pendapatannya, maka ia cenderung untuk tidak
menikah dan mempunyai anak, banyak dari mereka yang kemudian masih bergantung
pada orangtua mereka, dengan kata lain fenomena parasite single tidak akan
terjadi jika seseorang tidak mengalami ketidakstabilan dalam hal pemasukan
keuangan. Penyebab lainnya adalah meningkatnya jumlah wanita yang menempuh
pendidikan tinggi dan partisipasi mereka dalam pasar kerja dianggap sebagai
alasan penundaan pernikahan yang mengakibatkan terus menurunnya jumlah
kelahiran. Hal tersebut seolah-olah menimbulkan persepsi bahwa kemajuan wanita
dalam dunia pendidikan dan pekerjaan menjadi faktor yang mengakibatkan turunnya
jumlah kelahiran.
Penurunan jumlah
kelahiran yang terjadi di Jepang membawa beberapa kekhawatiran yang muncul dari
pemikiran akan dampak terburuk yang akan terjadi. Jika fenomena ini terus
terjadi, Jepang akan berubah menjadi masyarakat menua yang dalam bahasa Jepang
lebih dikenal dengan istilah koreika
shakai (高齢化社会) ,
yaitu ketika jumlah manula lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah
anak-anak.
Dampak buruk
dari shoshika adalah:
1. Ketersediaan
tenaga kerja
Adanya
kekhawatiran akan ketersediaan jumlah tenaga kerja di masa mendatang. Hal ini
mengingat jumlah tenaga kerja berasal dari golongan usia produktif (usia 15-64 tahun).
Jika jumlah kelahiran terus mengalami penurunan, maka dapat diramalkan bahwa
jumlah populasi usia produktif juga akan mengalami penurunan.
2.
Meningkatnya
populasi manula dan tingginya beban yang
harus ditanggung oleh generasi muda dalam hal pajak (Ueno, 1998: 106)
Berkaitan dengan
sistem jaminan sosial yang selama ini dibanggakan oleh Jepang, yang berasal
dari pembayaran pajak. Apabila jumlah usia produktif mengalami penurunan, tanpa
diiringi oleh penurunan populasi manula, maka beban yang harus ditanggung oleh
generasi baru akan semakin besar. Selain itu, apabila jumlah generasi muda
semakin berkurang, maka populasi manula akan turut mengalami masalah khususnya
pada siapa yang akan merawat dan bertanggungjawab atas kesehatan mereka ketika
memasuki usia senja.
3.
Penurunan
jumlah Sekolah
Berkaitan dengan
dunia pendidikan,yaitu berkurangnya jumlah sekolah karena jumlah anak yang
menurun sehingga mengakibatkan pengangguran guru. Dan banyak dari Taman
Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar di Jepang yang terpaksa ditutup karena kurangnya
siswa.
Dampak positif
dari Shoshika
1.
Pekerja
asing yang datang ke Jepang
Jepang banyak menerima pekerja asing, yang
banyak ditujukan pada jenis pekerjaan 3K, yaitu Kitsui(きつい),
Kiken(危険), Kitanai(汚い) = Keras, Berbahaya, Kotor) yang umumnya tidak diminati oleh
generasi muda Jepang saat ini. Dan hal ini menjadi peluang warga nergara asing
yang ingin bekerja di Jepang dengan alasan gaji yang besar dan bekerja di luar
negeri.
2.
Pelajar
asing yang datang ke Jepang
Terutama dalam program pertukaran pelajar
atau program beasiswa, hal ini akan semakin membuka peluang pagi pelajar yang
ingin belajar di Jepang karena persaingan untuk datang ke Jepang semakin mudah.
3.
Majunya
industri yang melayani kebutuhan manula di Jepang
Industri yang melayani kebutuhan manula,
seperti popok dewasa, makanan dan perawat.
Fertilitas
(kelahiran) merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kepadatan penduduk,
karena angka kelahiran di Indonesia tidak dibatasi dan kebanyakan penduduk
Indonesia melakukan pernikahan dini yang menyebabkan angka kelahiran semakin
meningkat dan juga laju pertumbuhan yang tidak terkontrol, dan diperkirakan
setiap tahunnya bayi bertambah 4,5juta. Kemudian, anggapan “banyak anak banyak
rezeki” masih melekat dalam pemikiran sebangian masyarakat. Hal ini berbanding
terbalik dengan kondisi tingkat kelahiran di Jepang yang setiap tahunnnya
mengalami penurunan sehingga di Jepang terjadi fenomena Shoshika.
Sumber: Makalah Kuliah Masyarakat Jepang Dewasa Ini oleh Pendidikan Bahasa Jepang FIB UB 2014